Gadis Hujan (Cerpen)
Di luar hujan deras sekali. Aku memandang ke luar pintu ruang kuliah yang terbuka setengahnya. Dia sangat menyukai hujan. Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukannya sekarang. Apakah dia juga sedang menatap tetesan hujan yang jatuh dari langit sepertiku? Atau sedang terlelapkah? Membaca tumpukan novel terbarunyakah? Atau malah sedang berlari-lari di bawah guyuran hujan dan bermain-main dengan riangnya seperti anak kecil seperti biasanya?
Aku merindukan saat-saat kami
bermain dalam hujan. Aku sangat menikmati itu. Bukan karena begitu mencintai
hujan seperti dia, melainkan karena bersama dia. Aku selalu menjadi
berbunga-bunga setiap kali hujan turun, sebab itu artinya dia akan segera
memanggilku keluar dan bermain hujan bersama. Berlari-lari ke sana ke mari.
Berkejar-kejaran di bawah rintik hujan yang semakin deras semakin dia sukai.
Dia berubah menjadi begitu ceria dan bahagia selama hujan turun membasah
kuyupkan pakaiannya. Senyumnya merekah. Badannya tak bisa diam dan terus
melonjak-lonjak. Tetesan hujan yang mengenai permukaan kulitnya begitu ia nikmati.
Seolah tak pernah merasakan hujan sebelumnya. Seolah setiap tetes menciptakan
dan melipat gandakan titik-titik kebahagiaannya. Lalu akan ada saat di mana dia
menyuruhku diam, sementara dia berdiri mematung di bawah guyuran air hujan. Dia
pejamkan mata, menengadahkan kepala, dan merentangkan kedua tangannya, lalu
tersenyum bahagia selama beberapa menit dalam posisi itu. Dia jarang berbicara
pada saat semacam itu. Seolah sedang bermeditasi di bawah hujan. Saat-saat
seperti itu adalah saat-saat paling bahagia dalam hidupnya. Saat bahagia bagiku
juga. Walaupun, beberapa menit setelah hujan mereda, aku akan segara terserang
flu.
Baca juga: Bohong - #TruthTheory
Baca juga: Bohong - #TruthTheory
Dia itu manusia hujan. Gadis
hujan. Dia tak bisa terserang sakit karena hujan deras, hujan rintik, maupun
hujan berangin seperti badai. Dia justru akan segera rubuh bila terkena
sengatan sinar matahari. Kepalanya akan terasa sakit dan berat. Badannya
menjadi agak lemah dan demam. Oleh karena itu, selama musim kemarau dia akan
lebih banyak mengurung diri di dalam ruangan. Menghindari cahaya matahari
seperti vampir. Bahkan matahari pagi yang menyehatkan saja akan membuatnya pening
sepanjang hari. Bagaimana bisa gadis semacam itu tinggal di daerah tropis?
Setiap kali kami bermain
hujan, dia selalu memintaku untuk memakai jas hujan agar aku tidak sakit.
Tetapi aku sering membandel. Aku ingin bisa merasakan perasaan yang ia rasakan
ketika tetesan-tetesan hujan mendarat di kulitnya. Tetapi yang selalu aku
dapatkan hanyalah dinginnya suhu udara dan pandangan mataku yang terhalang serta
perih karena rintik hujan masuk ke mataku. Satu-satunya alasanku selalu
bersamanya ketika hujan adalah karena dia sangat menyukainya. Dan melihat dia
bahagia adalah hal yang tak ada duanya bagiku.
Ngomong-ngomong, ini bukanlah
cerita masa kecil kami. Ini adalah cerita saat ini, saat di mana semua orang
menyebut kami sudah dewasa. Mengenai permainannya dalam hujan, memang itulah
yang dilakukannya ketika hujan turun.
Ketukan
spidol di papan tulis membuyarkan lamunanku. Kualiahkan pandangan dari pintu yang terbuka
itu pada bagan yang digambar dosenku di depan. Sebagian dari teman-temanku
mencatat dengan serius elaborasi dosen kami mengenai bagan itu. Setengah
sisanya mulai jenuh dan mengantuk pada sore berhujan ini. Kucoba kembali
berkonsentrasi memahami bagan di depan. Tapi yang kudapatkan hanya pusing di
kepala dan tulisan dosen yang tak terbaca itu semakin merumitkan pikiranku.
Tulisannya seperti jalinan benang kusut dan rerumputan yang terinjak-injak
ketika aku berlari-lari di bawah hujan bersamanya.
Baca juga: Funny Sections with The Professors
Baca juga: Funny Sections with The Professors
Kuliah berakhir. Semua orang
membereskan buku masing-masing dan bergegas ke luar dengan sumringah karena
hujan telah reda setelah perkuliahan yang membuat vertigo. Aku masih duduk
terpaku di dalam kelas. Tak tahu hendak melakukan apa sore itu.
Biasanya pada jam ini aku
memiliki jadwal membaca bersamanya. Tetapi sejak dua minggu terakhir, kontakku
dengannya terputus.
Kujejalkan buku-buku ke dalam
tas dan berjalan ke luar ruangan. Matahari sore kembali menampakkan dirinya
dari balik awan-awan mendung. Kutapakkan sepatuku pada rerumputan basah,
berjalan menuju sebuah sudut di taman dan kuhempaskan badanku pada sebuah kursi
kayu yang masih basah. Airnya yang dingin kubiarkan menembus celana jeansku.
Aku merenung. Aku melamun.
Memikirkan apa yang salah yang telah kuperbuat. Memperkirakan di mana letak
kesalahannya. Mengapa itu salah? Aku membayangkan hari itu tak pernah ada.
Tetapi, ada.
Dia berhenti menemuiku satu
hari sejak kukatakan aku punya perasaan lebih dari sekedar teman kepadanya.
Saat itu hujan baru saja selesai melaksanakan kewajibannya. Aku berdiri
menggigil di sampingnya di bawah naungan atap teras perpustakaan.
Kuperhatikan ekspresinya. Dia terlihat terkejut. Lalu rona cerah di wajahnya berubah menjadi kelabu. Kemudian dia memandang hamparan rumput di depannya. Aku masih menunggunya bereaksi. Setelah beberapa kali tarikan napas, dia berkata kepada rerumputan itu, “mengapa?” tanyanya sendu dan hampir tak terdengar.
Kuperhatikan ekspresinya. Dia terlihat terkejut. Lalu rona cerah di wajahnya berubah menjadi kelabu. Kemudian dia memandang hamparan rumput di depannya. Aku masih menunggunya bereaksi. Setelah beberapa kali tarikan napas, dia berkata kepada rerumputan itu, “mengapa?” tanyanya sendu dan hampir tak terdengar.
Aku tak tahu harus menjawab
apa. Aku tak tahu alasan aku ingin selalu bersamanya. Sebelum sempat aku
memikirkan jawabannya, dia menengok ke arahku sekilas lalu berlari tanpa pamit,
tidak seperti biasanya. Kepalaku mulai terasa berputar dan guncangan bersinku
membuat kepala semakin terasa berat dan sakit.
Keesokan harinya dan
selanjutnya, dia tak hadir di perpustakaan pada jam-jam dia biasanya ada. Dia
juga tak hadir di tempat-tempat lain yang biasa dia kunjungi selama hujan tidak
turun. Aku sempat berpapasan dengannya dua kali sejak hari itu, tetapi dia
menghindar dan berpura-pura tidak melihatku. Aku hanya terpaku dan tak
memanggilnya. Aku tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
Aku ingat dia pernah berkata
bahwa aku adalah teman terbaik pertamanya. Dan bahwa dia ingin kami bersahabat
selamanya. Aku tak tahu jika apa yang aku rasakan bisa begitu mengganggunya.
Aku beranjak dan kucangklongkan tas dari pangkuanku.
Kuturunkan tas itu hingga menutupi celana bagian pantatku yang basah karena menduduki kursi yang kehujanan. Bisa-bisa orang mengira aku mengompol. Itu pemandangan yang memalukan. Kuusap linangan air mata yang membasahi pipiku. Mataku ternyata lebih mengkhawatirkan.
Kuturunkan tas itu hingga menutupi celana bagian pantatku yang basah karena menduduki kursi yang kehujanan. Bisa-bisa orang mengira aku mengompol. Itu pemandangan yang memalukan. Kuusap linangan air mata yang membasahi pipiku. Mataku ternyata lebih mengkhawatirkan.
Jogja, 1 April 2017
Mbaa... temannya pergi ke mana? Ada masalah apa sehingga mereka berjauhan sekarang? Ada lanjutannya gaa...😁
ReplyDeleteHaruskah saya bikin lanjutannya? :D
DeleteKenapa temannya malah perfi. Tidak tertolak, tp dijauhi. Sekadar teman, tspi tak mau bersanding. Sedih banget hix. Closingnya juga bagus.
ReplyDeletePOV 1 COWOK itu susah wakakak. Ini bagus. Shirei suka
Makasih kak. Lagi pengen nulis cerpen lagi nih, seneng banget kalo Kak Shirei mau komen dan kasih saran. Kak Shirei kan karyanya udah banyak banget...
Deleteduh sedih, kasian pupus ya cintanya? mungkin ceweknya maunya langsung lamaran ya gamau pacaran *eh. ceritanya baguus. sukses selalu mbaa. dilanjutkan juga oke nih, jadi cerbung hehe.
ReplyDeleteMungkin bisa saya lanjut jadi cerbung 😃
DeleteAhh sakit sekali kalau dengar jawaban 'kita gak bisa jadi lebih dari sekedar teman' dari teman yang kita harapkan untuk jadi lebih dari sekedar teman. Haha.. yang sabar ya mas-nya. Jodoh pasti bertemu (kalau penulis mau menulis lanjutan'y). Hehe..
ReplyDeleteHehe
ReplyDeleteKubayangkan si cewek punya stok tolak angin fufufu karena sukanya hujan-hujanan 😆 menarik deh mini novel gini. Aku juga mau bikin. Kalo aku mau bayangkan kisah selanjutnya, bisa jadi si cewek menolak kehilangan sahabat saja dan belum tahu potensi si sahabat jadi pasangan
ReplyDeleteItu dia jawaban yg benar, tokoh ceweknya takut kehilangan sosok sahabat, tapi justru dia sendiri yang 'menghilangkan' diri. Kalo gitu berarti dia tidak pintar, walaupun dia minum tolak angin :D
DeleteKetangkep kok kalo tokoh utamanya cowok. Cuma jadi penasaran kenapa si ceweknya jadi menghindar gitu? Trus kenapa juga cewek itu gak bisa kena sinar matahari? Jadi inget dilm twilight.
ReplyDeleteSebenernya emang jelas tokoh utamanya cowok, tapi pernah ada yg 'bingung' gara-gara, aku, yg nulis, adalah perempuan :D
DeleteSi tokoh cewek takut sama sinar matahari, itu terinspirasi dari saya sendiri. Kadang saya suka sakit kepala kalo kena sinar matahari, tapi kalo kehujanan malah baik-baik aja.
Kalo musim dingin juga saya baik-baik aja, tapi musim panas malah kena flu 🤣
Dudududu ... Kemana perginya temannya itu? Kenapa tiba-tiba menghilang? Apakah ada salah paham di antara mereka?
ReplyDeleteIya, ada salah paham kak 😂
DeleteSedihnya cinta tak berbalas. Terkadang memang salah dalam mengartikan kedekatan dengan seseorang ya. Makanya lebih baik mencintai dalam diam saja hahaha. Biar nanti waktu yang menjawab semuanya. Mwskipun sakit, tetapi lebih jelas keputusannya. Suka dengan cerpennya Mbak. Baper jadinya, huhu.
ReplyDeleteMakasih kak :)
Deleteromantis dengan cara yang berbeda ayo mb tulis lanjutannya, menarik
ReplyDeleteWah Kak Lidia terinspirasi dari hujan juga ya :)
DeleteHuhuhu cinta bertepuk sebelah tangan. Tokoh utamanya di friendzoned ya hiks. Hujan itu memang indah, mendatangkan banyak inspirasi dan kisah indah seperti cerpen ini.
ReplyDeleteMakasih Kak Alfa. Bukan sekedar friendzoned, tapi jadi strangerzoned :D
DeleteCerpennya bikin mikir, membayangkan. Haha...mestinya kisahnya dinikmati aja ya mengalir. Btw...Mbak, kalau boleh usul, warna backgroundnya bisa lebih soft? Soalnya tulisannya jadi kurang terlihat. Maaf ya...
ReplyDeleteMakasih sarannya, kalo ga dikasih tau, saya gak bakal nyadar tuh, kalo warna backgroundnya terlalu cetar.
DeleteUdah saya ubah, malah saya ubah semuanya :D kalo masih kurang jelas, kasih tau ya, biar bisa jelas buat yang lainnya juga 👍
Lama rasanya ga baca cerpen... dulu tuh baca cerpen di majalah atau tabloid... bagus mba
ReplyDeleteMakasih Kak Nunu
DeleteHujan itu emang bikin banyak kenangan, eh salah, maksudnya banyak genangan. Genangan cerita, genangan memori, genangan imajinasi, genangan kreatifitas, dan aneka genangan lainnya. Ternyata barokahnya hujan bukan hanya untuk tumbuhan, bukan hanya untuk makanan, tapi juga untuk daya cipta & kreasi.
ReplyDelete*Fabi ayyi aalaa-i Robbikumaa tukadzdzibaan*
Hujan mengundang eksplor imajinasi 😊
DeleteAku suka hujan, cerpennya bagus
ReplyDeleteAku juga suka hujan 😄
Delete