Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Senandung Kabut Pagi (cerpen)


“Aku ingin dia mati! Dia mati saja! Mengapa dia belum mati juga?” teriaknya sekeras mungkin.
***

“Belum sarapan, berangkat sekarang?” tanya ayah.
“Iya. Sebentar lagi jam tujuh,” ucapnya singkat. Lagipula sudah lama ia terbiasa pergi tanpa makan pagi. Ayah mengasongkan tangannya untuk dicium sebagai mana biasanya, sebagai bentuk ritual berpamitan setiap pagi. Seperti biasanya juga, ia hanya menarik tangan itu ke dahinya sekilas dan segera melengang.
Sekembalinya ke rumah, ritual cium tangan tanpa cium itu tidak diulangi. Entah mengapa hal itu hanya berlaku pada pagi hari. Ia hanya akan membuka pintu dan mengucap salam, lalu menerobos ke kamarnya dan mengurung diri di dalam hingga pagi tiba. Ia hanya akan keluar jika perutnya kelaparan atau ada dua tiga berita menarik di televisi. Jika ia ingin menyimak berita-berita itu, ia akan duduk di bawah di karpet agar tak perlu repot-repot duduk bersebelahan dengan ayah di kursi. Setelah itu, ia akan bergegas meluncur ke kamarnya tanpa menegur sapa apalagi mengobrol basa-basi.
Bagaimana dengan hari libur? Ia akan pergi dengan teman-temannya atau tetap berada di kamarnya sepanjang hari: membaca, bermain game, menonton film, menelepon teman, mendengarkan musik, atau tidur. Bagaimana dengan pembahasan buku raport dari sekolah? Ia selalu berusaha agar nilai-nilainya di sekolah baik-baik saja, sehingga tak perlu ada yang didiskusikan dengan ayah. Ia hanya akan menyerahkan buku raportnya begitu saja dan masuk ke kamar.
Bagaimana pendapat ibunya mengenai hal ini? Ibunya tak berpendapat apa-apa. Ibunya menyerahkan semuanya sepenuhnya kepada mereka berdua. Karena ibunya sudah meninggal satu tahun sebelumnya. Jika kau bertanya apakah sifat ia lebih baik ketika mendiang ibunya masih hidup, ‘ya,’ adalah jawabannya. Lalu apa yang membuat ia bersikap demikian? Sebaiknya kau coba pahami isi hatinya yang sebenarnya. Suara-suaranya yang diteriakkan dengan keras di dalam hati. Cerita-cerita tidak indah di balik sikap tidak pedulinya. Rasa sakit di hati dan sesak di dada yang tak pernah bisa disembuhkannya.
***
Setahun sebelumnya, ibu sakit keras. Terbaring lemah dengan suhu tubuh terlampau panas. Ia hendak membawanya ke rumah sakit, tetapi tidak mendapat izin dari ayah. Alasan? Tak begitu jelas maupun logis. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa orang sesakit ini dibiarkan saja!
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu terlihat semakin parah. Kelihatan terlalu sakit untuk tidak ditangani oleh dokter. Ia membawanya segera ke rumah sakit, ayah sedang tidak di rumah. Tiba di rumah sakit, dokter bergerak cepat menangani ibu. Ibu tidak membaik. Tak pernah terbayangkan sama sekali sebelumnya olehnya, ibu meninggal segera secepat itu.
Ayah tiba dan uring-uringan kepadanya di depan resepsionis. Kematian ibu baru 30 menit yang lalu. Ayah tidak tahu. Ayah menuntut penjelasan mengapa ibu sampai harus dibawa ke tempat itu. Ia berdiri tak bergeming. Ia tak punya minat untuk menyanggah maupun sekedar membuka mulut. Ia biarkan ayah berbusa-busa hingga puas. Barulah ia menarik napas panjang sambil menahan titik-titik air dari mata dan berkata, “semuanya sudah berakhir. Ibu tak akan pernah kembali.” Lalu ia berbalik dengan gontai untuk mempersiapkan pemandian terakhir ibunya.
***
Setelah pemakaman, ia membersihkan rumah hingga ke celah-celah paling kecil dan sempit. Ia sengaja menyibukkan diri agar tak terus menutupi wajahnya untuk menangis. Sanak saudara memintanya untuk duduk dan beristirahat. Ia tak menggubrisnya. Duduk diam hanya akan membuat ingatannya tentang ibu semakin berseliweran.
Dalam kesibukan bersih-bersih itu, ia menemukan sepucuk kertas berisikan daftar belanjaan ibu ke warung. Tertulis:
bawang merah ¼
cabe rawit 3rb
santan 2 sachet
lengkuas 3 ruas
Lalu ia membalik kertas itu, dan terkuaklah salah satu rahasia besar dunia. Ibu menulis bahwa dia sudah tidak tahan atas sikap ketidakpedulian ayah padanya selama hampir satu tahun terakhir. Dan ibu menulis, siapa perempuan itu? Ia tak mau berpikir macam-macam seperti ibu, ia hanya memasukkan kertas itu ke sakunya dan meneruskan pekerjaannya.
***
Ayah berpikir rumah ini akan semakin sepi ketika anak itu pergi kuliah suatu hari nanti. Dulu ia bilang ingin menjadi diplomat. Mungkin dia akan mengambil jurusan semacam hubungan internasional atau apa, pikir ayah. Tetapi dia harus pandai berbicara dan berdiplomasi, batin ayah. Tapi, sejak ibunya tiada, berinteraksi dengan manusia saja dia jarang, pikirnya lagi. Yah, mungkin dia akan berkembang ketika kuliah nanti. Dia toh cukup bagus, masih bisa mempertahankan prestasinya walaupun ibunya sudah tiada. Ternyata aku mampu membesarkannya seorang diri.
***
Pada sebuah pagi yang dingin dan berkabut, embun masih menggenang di setiap helai daun pekarangan rumahnya, tetapi ia sudah bersiap-siap duduk memalangi pintu untuk memakai sepatu. Ia hampir menyelesaikan ikatan tali sepatunya ketika tiba-tiba muntah dan mengeluarkan makanan terakhir yang dikonsumsinya, tadi malam. Nasi goreng masakannya sendiri dengan tambahan kecap yang menggelontor terlalu banyak. Butiran nasi yang belum selesai dicerna oleh tubuhnya itu terasa membuat tenggorokannya perih ketika mendesak keluar dengan derasnya.
***
Di ruangan itu ada dua orang yang sedang sibuk menggulung selang infus yang airnya bermuara ke tangannya. Badannya terasa lemas dan lemah, menengok pun rasanya tak sanggup. Ia hanya melirik mereka berdua. Seorang berbaju putih rapi dan seorang lainnya terlihat seperti akan pergi piknik. Otaknya berpikir, berusaha mengingat-ingat siapa kedua orang itu. Otaknya memutuskan, kedua orang ini tidak dikenal.
“Hei, sudah bangun kau nak,” seru salah seorang dari mereka. “Kau tunggui saja dia ya. Ajak dia bicara. Mengapa bisa sampai begini,” katanya kepada yang lain kemudian berlalu.
“Baiklah. Beres.” Dia membalik badan kepadanya dan berkata, hei dik, saya konselor. Kamu bisa percaya pada saya. Bicaralah,” ucap konselor itu sambil memamerkan tanda pengenalnya di depan matanya. “Kau mau minum?” ucap lelaki itu ramah sambil mendekatkan sebuah gelas dari meja dekat ranjang ke mulutnya. Dia terlihat terlalu sembrono untuk disebut konselor. Tapi ia percaya saja. Bahkan entah mengapa, ia merasa membutuhkan laki-laki muda sembrono di hadapannya ini.
Ia menyesap perlahan air dari gelas yang dipegangi oleh konselor aneh itu. Tenggorokannya terasa sangat kering. Air segera lenyap masuk ke tubuhnya. Ia menatap orang muda itu, menuntut air dihantarkan lagi ke mulutnya. Dia mengerti, tersenyum, dan hanya memegang gelas itu. Ia haus dan tak mau bercanda. Akhirnya dia bangkit dan mengambilkan air.
Ia berusaha untuk bangun dan konselor aneh itu membantunya duduk bersandar. Air minum kembali bisa ia nikmati. Konselor itu duduk di tepi ranjangnya dan menunggu. “Saya tidak terburu-buru. Silakan nikmati waktumu.”
Dan di situlah akhirnya terjadi. Ia mulai berbicara ketika tenaganya perlahan pulih. Ia mengeluarkan semua isi hatinya yang di- dan terpendam dalam-dalam. Ia merasa begitu butuh untuk menceritakan segala yang tak pernah ia biarkan orang lain untuk tahu. Ia menangis terisak hingga meraung-raung. Ia memaki pelan hingga hampir berteriak-teriak. Ia mengutuk dan menghujat. Ia ungkapkan, betapa bencinya ia kepada ayah. Betapa kecil rasa sayang yang mungkin masih tersisa di sudut hati. Betapa mungkin telah sirna, begitu samarnya sisa rasa cinta itu. “Aku ingin dia mati! Dia mati saja! Mengapa dia belum mati juga?” teriaknya sekeras mungkin.
Dari balik dinding itu, ayah yang baru selesai mengurus administrasi dan hendak masuk ke ruangan, diam terpaku mendengarkan. Menyimak setiap rintihan tangis anaknya yang selama ini tak mampu dia deteksi. Menganalisis setiap hujatan dan kutukan yang dicetuskannya. Menyesali betapa dia telah menyiksa dan menelantarkannya, dan mengira semuanya baik-baik saja.
Buliran air jatuh dan mulai menderas. Suara raungan anaknya membuat kepalanya sakit dan batinnya menjerit. Tak tahu harus berbuat apa, dia mulai menjongkokkan badannya dan sesenggukan di bawah jendela, di koridor tempat semua orang berlalu lalang dan meliriknya penasaran. Di dalam, ia hanya bisa menangis ketika kesedihan sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
***
Teman-temannya baru saja pulang usai membesuknya. Rumah kembali sepi. Ia duduk memunggungi ayah dan menyelonjorkan kakinya di atas sofa. Ayah duduk di sofa yang lain di sampingnya. Ayah mulai berkata, “kau sudah merasa baikan?”
“Hmm,” jawabnya sambil menyalakan televisi.
“Mau minum atau makan sesuatu?”
“Hmm,” jawabnya lagi sambil menggelengkan kepala. Ia menekan-nekan tombol remote televisi untuk mencari siaran yang agak layak ditonton.
“Ayah sudah menyimak semua isi hatimu waktu itu,” ia masih mencari-cari saluran televisi, tak mengerti apa yang ayah bicarakan. “Di rumah sakit,” lanjut sang ayah.
Ia tersentak dan menjatuhkan remotenya.
“Ayah minta maaf,” lanjut ayah.
Selama beberapa lama, tak ada yang bersuara maupun bergerak. Hanya terdengar suara iklan komersial yang tiada berhenti. Ayah berusaha untuk memecah sunyi dengan kembali meminta maaf.
“Untuk apa?” tanya ia. Televisi sudah berhenti menayangkan iklan, tetapi ia menatap dinding kosong.
“Untuk semuanya. Ayah tidak tahu kalau selama ini kamu tidak bahagia.” Ayah menunduk menatap karpet di bawah kakinya.
“Aku tidak butuh ayah untuk meminta maaf padaku. Bukan aku yang ayah buat menderita, tetapi ibu.”
“Ayah sudah meminta maaf pada ibu.”
“Tidak. Ayah tidak pernah sempat berkata maaf pada ibu.”
Ruang itu kembali sepi. “Siapa dia?” tanyanya.
“Dia siapa?”
“Siapa lagi? Dia yang membuat ibu risau.”
“Kau tak mau memaafkan ayah?”
“Aku tidak tahu,” tukasnya seraya berdiri dan menyeret kakinya ke kamar. Ia tutup pintunya perlahan dan duduk di lantai. Badannya terasa lemas dan berkeringat, bulir-bulir lain pun keluar dari sudut matanya. Pembicaraan dengan ayah barusan sangat menguras tenaga. Jantungnya berdegup kencang pada setiap kalimat pendek yang diucapkannya tadi.

Sejak saat itu, ayah bersikap lebih perhatian lagi kepadanya. Ayah berusaha untuk menunjukkan, betapa dia sesungguhnya sangat menyayanginya. Betapa hanya tinggal ialah satu-satunya hal berharga bagi ayah di atas segalanya. Betapa dia amat menyesal atas semua hal yang telah diakibatkannya.

Setelah 4 tahun berlalu, akhirnya ia mulai bisa meraba ketulusan ayah, meski tak bisa langsung membuka hati untuknya. Namun yang jelas ia mulai mau untuk membenahi sikap dewasanya. Ia merenungi, orang tua tetaplah orang tua, apa pun yang terjadi. Ayah menyayanginya dan ia pun memerlukan restunya untuk setiap jejak yang akan ia tempuh dalam hidup.
Ia usut kembali memori-memori manis karya ayah yang sebelumnya tak kasat mata dan ia acuhkan begitu saja. Pemandangan ayah yang setiap hari—semenjak ibu tiada—menyajikannya sarapan pagi yang tak pernah sekalipun ia sentuh. Ekspresi khawatir ayah yang memintanya untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum beraktivitas. Wajah harap ayah yang menunggu dicium tangannya saat berpamitan. Hidangan makan malam ayah yang selalu mendingin setiap hari karena hampir tak pernah terlirik. Rumah yang amat higienis dan penuh kudapan setiap kali ia pulang pada liburan kuliah. Rona berseri-seri ayah melihat ia melangkah memakai toga. Ia mulai merasakan getaran yang selama ini hilang.
Akhirnya, perlahan, seiring detik berlalu pada tahun terakhir kuliah itu, ia mulai menyadari, tak ada kebahagiaan tanpa pemaafan. Membenci hanya mempersempit ruang dan peluang kebahagian. Yang sudah terjadi tentu memiliki misi untuk dihikmahi. Yang sudah pergi tak akan pernah bisa kembali. Kepergian itu sendiri merupakan keharusan dari takdir Yang Mahasuci. Masa itu, kala ibunya meninggalkan dunia, ia menyadari bahwa itu memang sudah saatnya beliau pergi. Menuruti takdir.
Dan yang terpenting, sekeras apa pun ia menyangkal, ia akhirnya menyadari, dan mengakui, kepada dirinya sendiri, bahwa ia menyayanginya. Dia. Orang itu. Ayah.
Sambil mengobati luka batinnya, pelan tetapi pasti, ia mulai belajar mencintai—kembali mencintai.

~ paham, siapa berkata apa? kalau tidak, boleh tanya :) ~




24 comments for "Senandung Kabut Pagi (cerpen)"

  1. Sayangi kedua orangtuamu selagi masih ada kesempatan. Jangan sampai menyesal di kemudian hari..

    ReplyDelete
  2. cerpennya bagus penuturannya sederhana dan mengena, semoga sukses selalu dan ditunggu cerpen berikutnya

    ReplyDelete
  3. Kalimat demi kalimatnya menghanyutkan sekali mbak. Suka deh

    ReplyDelete
  4. Wow diksinya apik banget. Switch POVcentric nya juga cakep banget. Amazing! Nasi udah jd bubur. Penyesalan kala sudsh tiada itu hanya menyisakan rasa sesak. Hix

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Kak Shirei. Kirain POVcentricnya malah bikin pembaca bingung. Saya paling seneng main-main sama POV :) asyik.

      Syukurlah kalau bisa dipahami dan dinikmati :)

      Delete
  5. Masya Allah, dalem banget hikmah cerpennya. Bukan hanya masalah Ayah dan anak, tapi juga soal memberikan maaf dan melepaskan yang sudah lewat. Bagus mba :) Gak ada mantan Ayah dan mantan Anak. Tetap aja ada hubungan darah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memaafkan tidak berarti melupakan, kalau berarti melupakan, namanya amnesia :D tapi kalau tidak dimaafkan, sombong kali kita... Allah saja Mahapengampun~

      Delete
  6. Bener banget mba, kalo mau hidup dengan damai, ya harus ikhlas memaafkan :) . Cerpennya bagus banget, saya suka :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau gak memaafkan, justru yang mengganjal jadi gak ilang-ilang

      Delete
  7. wah bagus cerpennya mba, dibacanya enak. bikin novel oke nih, enggak ngebosenin. sukses terus mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Kak. Wah seneng deh dikasih masukan dari blogger-blogger senior :)

      Delete
  8. Cerpen adalah cara paling halus dan paling lembut untuk menasehati. Mengajari tanpa terkesan menggurui. Penulis berhasil melakukannya dengan baik. Bravo

    ReplyDelete
  9. Penasaran sama penyebab mengapa ayahnya kurang perhatian sama ibunya? Pas baca bagian akhir aku deg-degan. Takut kalau-kalau sad ending. Ayahnya meninggal gitu. Bersyukurnya tidak. Bisa mewek deh kalo sad.

    Baca cerpenku juga ya Mbak. Baru update 2 cerpen di blogku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seneng deh bikin pembaca deg-degan :)
      Oke sip, saya tandangi juga blognya Kak Deris

      Delete
  10. Suka baca cerpen ini. bahasanya asyik ceritanya pun runut..enak dibaca. Ditunggu karya selanjutnya. Hm..tapi penasaran ga nemu clue siapa si dia itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau yang ada di kepala saya, si Dia nya itu anak SMA, cowok :)

      Delete
  11. Cerpennya oke. Suka dengan diksinya, alurnya juga bagus hanyak saja 'konflik'nya tidak menjawab rasa penasaran saya. Tidak ada penjelasan tentang siapa "dia" dan saya pikir bakal ada "kejutan" di ending. But over all saya suka cerpennya karena bisa bikin saya baca sampai akhir :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya malah gak kepikiran membuka identitas si tokoh utama, it remains anonymous. Yang jelas tokoh si Dia nya itu anak SMA, cowok, walaupun di cerpen saya gak nyebut dia anak cowok.
      Apa ini menjawab rasa penasaran Kak Siska?

      Delete
  12. Orang tua tetaplah orang tua. Apapun yang terjadi.

    Suka dengan kalimat itu. Noted

    ReplyDelete