Mungutin Kacang Walnut dan Kue Keju Legendaris
Sesuai
undangan imam masjid, aku datang ke masjid untuk mengikuti acara syukuran
seseorang yang belum aku kenal yang baru saja kembali dari tanah suci. Ada
banyak sekali orang di lantai dua hari itu. Aku pun segera naik ke lantai tiga, lantai perempuan. Ada banyak perempuan Turki di sana. Ada juga beberapa
anak. Aku tak kenal siapa pun. Aku lalu duduk dan menunggu kesempatan untuk
berkenalan, tetapi semua orang sedang khusyuk mendengarkan sesuatu dari lantai
dua yang entah itu khutbah atau apa, yang jelas berbahasa Turki.
Karena tak paham dengan apa yang sedang dibicarakan,
aku mulai mengantuk, lalu tertidur.
Kubuka
mataku, ceramah berbahasa Turki masih berlangsung. Aku mulai merasa lapar.
Kulihat
sekeliling dan tersenyum kepada seorang anak perempuan yang begitu cantik
seperti boneka. Makanan mulai disajikan di meja-meja panjang di belakangku. Perutku
semakin keroncongan. Kapan makannya ya? Batinku :D
Beberapa
lama kemudian terdengerlah doa yang dipanjatkan oleh seseorang di lantai 2.
Semua orang mendengarkan dengan tenang dan mengamini doa tersebut, lalu
berakhirlah acara itu dan makan bersama pun dimulai. Pada saat makan, aku
berkenalan dengan wanita-wanita yang duduk satu meja denganku. Lalu setelah
makan, aku ikut membantu membereskan ´kekacauan´ seusai makan bersama. Dari
situlah aku mengenal beberapa wanita lain yang selanjutnya menjadi dekat
denganku.
Salah
satu dari wanita di atas adalah seorang ibu yang tinggal berdua dengan anak
perempuannya. Anaknya lebih tua dariku. Lebih tua 20 tahun tepatnya 😂 tetapi
kami berteman baik. Aku sudah mengunjungi mereka beberapa kali.
Kunjungan
pertamaku adalah pada hari pertama kami bertemu, yaitu seusai membenahi
kekacauan pasca makan bersama. Kata putrinya yang lain, „ibu memang selalu
membawa serta semua orang yang baru beliau kenal ke rumah sejak hari pertama
mereka berkenalan. Kamu bukan orang pertama yang dibawa ibu ke rumah begitu
saja,“ terang wanita tinggi yang hangat itu.
Pada kunjungan kedua, ibu Turki ini berkata kepadaku dalam Bahasa Jerman, „Alvi kommst du mit? Wir möchten Walnüsse sammeln.“ (Alvi, kamu mau ikut? Kita mau ngumpulin kenari.) Aku tahu kata Walnüsse, tetapi itu bukan kata yang akrab di telingaku. Jadi aku tidak mendengar dengan jelas kata itu dan tak mengira bahwa itu memang Walnüsse. Aku hanya mengiyakan ajakan itu karena pasti membosankan jika aku tidak ikut dengan mereka dan hanya diam di rumah. Aku tak tahu sama sekali bahwa kami benar-benar akan mengumpulkan kacang walnut!
sebuah taman tersembunyi di jalan menuju rumah sang ibu Turki |
sebuah jembatan yang mengarah ke rumah ibu dan anak itu |
Pada kunjungan kedua, ibu Turki ini berkata kepadaku dalam Bahasa Jerman, „Alvi kommst du mit? Wir möchten Walnüsse sammeln.“ (Alvi, kamu mau ikut? Kita mau ngumpulin kenari.) Aku tahu kata Walnüsse, tetapi itu bukan kata yang akrab di telingaku. Jadi aku tidak mendengar dengan jelas kata itu dan tak mengira bahwa itu memang Walnüsse. Aku hanya mengiyakan ajakan itu karena pasti membosankan jika aku tidak ikut dengan mereka dan hanya diam di rumah. Aku tak tahu sama sekali bahwa kami benar-benar akan mengumpulkan kacang walnut!
Kami
lalu naik mobil dan berkendara tidak jauh dari rumah. Cuaca hari itu berangin dan kadang turun pula hujan gerimis. Putri
sang ibu Turki menyetel lagu Turki. Lagunya terdengar seperti lagu Arab bagiku.
Musiknya pun seperti musik padang pasir.
Tak lama kemudian mobil berhenti di pinggir jalan. Sang
ibu Turki lalu memberiku sebuah kantong plastik dan sarung tangan plastik
berwarna hijau. Untuk apa ini? Pikirku. Tapi tak ada waktu untuk bertanya. Sang
ibu Turki membuka pintu mobil dan mengajakku untuk segera keluar dari mobil
juga.
Kuikuti
sang ibu Turki dan kuperhatikan apa yang beliau lakukan. Beliau berjalan
menghampiri buah hijau kecil di atas jalan dan menginjaknya dengan bersemangat.
Prekkk! Kulit buah terbelah dan terlihatlah kulit pelindung biji walnut. Ibu Turki
itu lalu memungut walnut yang masih terbalut kulitnya ke dalam kantong plastik
milik.
„Was ist denn das?“ (apa itu?) tanyaku.
„Walnuss,“ (walnut), jawabnya sambil
menunjukkan walnut yang terlihat dari kulitnya yang terkelupas. Lalu kulihatlah
wujud kacang walnut yang unik seperti otak. Dan aku baru menyadari, aku baru
saja memakan walnut hari sebelumnya. Guru ngajiku memberiku sekantong penuh
kacang-kacangan dan kismis, di dalamnya terdapat pula walnut.
Aku
pun akhirnya menyadari, ternyata kami hendak mengumpulnkan kacang walnut! Aku tak
menyangka sama sekali. Aku hanya tahu bahwa kami akan mengumpulkan sesuatu,
tapi tak tahu pasti apa itu 😂 ternyata… mungutin walnut di pinggir jalan di tengah
cuaca dingin berangin yang sesekali dirintiki hujan. Aku merasa konyol 😂 Apa
yang aku lakukan di sini? Jauh-jauh ke Jerman untuk memunguti walnut di pinggir
jalan. Tapi aku merasa itu asyik. Aku senang-senang saja melakukannya. Aku
merasa ini lucu. Jaketku tak aku rapatkan dan angin terus membukanya
lebar-lebar sementara aku menginjak-injak kenari dengan suka cita. Entah
mengapa aku merasa suka memunguti walnut-walnut itu.
Sementara
itu, putri sang ibu Turki yang umurnya 20 tahun lebih tua dariku itu tetap
berada di dalam mobil yang hangat sambil mendengarkan musik Turki yang tadi
diputarnya. Dia tak mau keluar dan membungkuk-bungkuk karena nanti pinggangnya
akan sakit, begitu katanya.
Tidak
lama kemudian, seorang pria Turki turun dari sebuah mobil mungil yang hanya
muat untuk dua orang. Pria
itu rupanya kenalan sang ibu Turki. Ia menyapa sang ibu
Turki lalu segera bergabung mengumpulkan walnut yang jatuh berserakan di pinggir jalan. Sepanjang jalan itu memang dipenuhi pohon walnut. Aku jadi berpikir, memangnya
orang-orang turun ke jalan begitu saja untuk memunguti kacang walnut di hari yang
dingin?
Setelah
beberapa lama, kami beralih ke tempat lain dan akhirnya pulang ke rumah. Kami
lalu membersihkan hasil panen kami. Sang ibu Turki berkata bahwa kacang walnut sangat sehat,
tetapi kalau kebanyakan bakal mencret 😂. Cucu beliau sangat suka makan walnut,
oleh karena itu beliau mengumpulkan walnut dengan begitu rajinnya.
Keesokan
harinya, aku datang kembali ke rumah mereka pada tengah hari dan kami kembali
memanen walnut. Sang ibu Turki berkata bahwa pagi itu juga beliau sudah pergi
mengumpulkan walnut, tetapi beliau merasa itu belum cukup. Lagipula hujan
kembali turun, ini adalah saat yang paling tepat untuk mengumpulkan kenari,
ucapnya. „Kita harus bergegas, kalau tidak, nanti keburu habis diambil orang.“
Aku tidak merasa orang lain akan keluar rumah mengumpulkan walnut pada cuaca
seperti itu, tetapi aku salah!
Setibanya
di lokasi, beberapa orang tengah membungkuk-bungkuk memunguti walnut yang
berserakan di atas rerumputan serta di jalan. Setiap kali angin berhembus,
semakin banyak kenari yang gugur dan jatuh ke tanah menunggu untuk dipungut.
Bahkan orang lain pun datang pula dengan mobil dan plastik besar untuk
menampung kenari mereka.
Aku
melihat seorang pria muda berwajah bule mengumpulkan kenari tanpa membawa alat
penampung apa pun. Dia
memasukkan semua hasil buruannya ke dalam saku celana 😂anehnya, muat. Padahal
dia mengumpulkan banyak sekali kenari. Mungkin celananya dirancang khusus untuk
pergi memanen walnut di pinggir jalan.
Putri sang ibu Turki tetap berada di dalam mobil
seperti sebelumnya, mendengarkan lagu-lagu Turki kesukaanya yang dinyanyikan oleh
seorang pria yang tidak lagi muda. Aku tahu itu dari suara sang penyanyi.
Setibanya kami di tempat parkir apartemen mereka
sehabis memanen walnut, sang ibu Turki berkata kepada putrinya dalam bahasa
Turki dan menyerahkan sebuah payung biru besar yang cantik kepadanya. Aku tak
tahu apa yang mereka katakan dan aku hanya mengikuti sang ibu Turki kembali ke
rumah sementara sang putri pergi ke luar bersama payung itu.
Di
dalam rumah, suhu terasa hangat dengan Heizung
atau penghangat ruangan yang dinyalakan. Tidak lama kemudian bel pintu berbunyi. Sang
ibu Turki membukakan pintu, sang putri telah kembali. Tetapi payungnya rusak. Kami
terkikik melihat payung yang rusuk-rusuknya menghadap ke segala arah, mungkin ia
diterjang angin sewaktu di luar tadi.
Kue Keju Legendaris
Tidak lama setelahnya, kami memanggang kue keju. Sang
putri berkata bahwa kue ini adalah kue favoritnya. Tidak ada kue lain yang seenak kue
ini, tukasnya. Dia sering sekali membuat kue ini. Aku lalu memperhatikan
caranya membuat Käsekuchen (kue keju) itu karena
aku pun sangat suka kue apalagi kue keju.
Sang
putri menunjukkanku berbagai bahan yang dibutuhkan untuk membuat satu loyang
kue keju. Meskipun sangat sering membuat kue kesukaannya ini, sang putri selalu
melihat dan mengecek ulang resep dengan teliti agar semua bahan tercampur
sesuai dengan takarannya masing-masing. „Semuanya harus sesuai resep,“ katanya,
“agar rasanya sempurna. Kalau tidak sesuai, nanti rasanya tidak enak.“ Begitu
menginginkan kesempurnaan untuk kue keju kesayangannya, sang putri bahkan
menimbang tepung dan susu sebelum dicampurkan menjadi adonan. Setelah semuanya
tercampur, adonan pun dimasukkan ke dalam oven dan dipanggang selama 70 menit.
Sambil
menunggu kue, kami kembali ke ruang keluarga. Kami tak melihat keberadaan sang
ibu Turki yang tiba-tiba menghilang entah ke mana, mungkin menyelinap memburu
sisa-sisa walnut. Sang putri lalu bertanya kepadaku apakah ia boleh menyetel
lagu Turki yang ia putar di mobil. Aku menjawab, tentu saja. „Aku sangat suka
lagu-lagu dari penyanyi ini,“ terangnya. Ia pun menyetel lagu Turki itu. Sang
penyanyi membawakan lagu dengan semi merintih, terdengah sedih sekali, hampir
terdengar seperti sedang menangis daripada menyanyi.
„Lagu
tentang apa sih ini?“ tanyaku.
„Tentang
satu pasangan yang dulunya bersama tapi kemudian berpisah,“ jawab sang putri
Turki.
„Lagu-lagu
yang aku dengar kemarin di mobil juga terdengar sedih. Mengapa dia selalu
menyanyikan lagu-lagu sedih?“ tanyaku
„Aku
tak tahu. Lagu-lagunya memang selalu sedih. Dia hanya menyanyikan lagu-lagu
sedih saja.“
Selama
kami mendengarkan lagu-lagu sedih dari Turki yang tak bisa aku pahami sama
sekali, aroma kue keju dari dapur mulai menyeruak. Kuenya pasti enak sekali, batinku.
Keesokan harinya, aku kembali mengunjungi sang ibu
Turki dan putrinya. Sang putri menyuguhiku kue keju yang kami buat kemarin,
kuenya memang sedap disantap setelah didiamkan satu hari. Saat menyerahkan kue
legendaris kebanggaannya itu kepadaku, sang putri berkata, „tetapi kuenya
tidak terlalu enak. Aku lupa untuk menambahkan gula kemarin,“ jelas sang putri.
„Apa???“ kataku tak percaya. Ia telah mengecek resep
ribuan kali untuk memastikan tak ada bahan yang tertinggal, tetapi kami justru
melupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan kue! 😂 Akhirnya kuenya
hanya rasa quark (salah satu bahan
yang digunakan dalam jumlah besar dalam kue kami). Rasa quark itu hambar, agak mirip
yoghurt tetapi tidak terlalu asam. Sementara kue kejunya tidak terasa manis, tidak juga terasa keju. Rasanya
tidak terlalu buruk, tapi tetap saja terasa aneh. Ada-ada saja.
inilah kue keju legendaris yang dibuat dengan sangat hati-hati itu |
Post a Comment for "Mungutin Kacang Walnut dan Kue Keju Legendaris"
Drop your comments here and tell me your thoughts about my post :)