Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengganti Ibu di Negeri Salju


Dulu, aku berpikir berkuliah di Jogja itu jauh, tapi aku masih bisa pulang setiap libur semester. Sementara kali ini, aku tak akan bisa pulang seenak udel. Aku akan harus melibatkan paspor dan tiket pesawat yang aduhai harganya.


Bayangan tak akan bisa melihat dan memelukku secara langsung, pasti itu yang membuatku ibuku menitikkan air mata di bandara waktu itu. Anaknya yang dulu ia rawat sejjak bayi, merangkak dan belajar berjalan, selalu minta dibelikan es krim, tidak mau makan, dapat nilai jelek di ujian, dapat ranking satu, diterima kuliah, pergi kuliah jauh, dan pergi lebih jauh lagi.


gang kecil yang hijau pada musim panas berubah menjadi putih dan sunyi musim ini

Belum lagi bayangan dan kekhawatiran jika aku sakit. Sendirian. Dingin. Di tengah-tengah musim salju. Tak ada makanan.

Bu, aku rindu. Aku ingin kau kembali membelai lembut kepalaku. Bu, aku rindu, tapi aku harus berjuang untukmu. Bu, aku akan kembali, walaupun seorang pria muda akan kembali membawaku pergi... Tapi, jangan bersedih hati bu. Berbahagialah, karena di sini aku menemukan lagi keluarga baru. Aku tak seperti ketika aku masih di tanah air bu, gadis yang malas bersilaturahmi kepada orang-orang di sekelilingku sendiri. Di sini aku giat dan bersemangat bersilaturahmi – untuk ukuranku.

Aku berteman dan bergaul dengan saudara-saudara kita yang berasal dari Turki dan Suriah. Mereka adalah muslim-muslim teladan yang sangat aku hormati dan sayangi. Semua yang ´sepuh´ menganggapku anak dan semua yang muda menganggapku sebagai adik atau kakak.

Di negeri asing ini, akhirnya aku menemukan substansi silaturahmi. Aku baru memahaminya setelah jauh-jauh datang kemari, karena di sini aku merasa membutuhkannya! Aku sendirian di negeri minoritas muslim; aku tak ingin sendiri dan ingin dekat dengan saudara-saudara muslimku yang lain agar kami bisa sama-sama saling membantu dan menyemangati dalam ketaatan. 


Tumbuhan kecil yang tercipta untuk tidak kedinginan
Maka hadirlah aku di rumah-rumah keluarga Turki, Suriah, dan Eritrea. Sungguh, betapa kehangatan saudara seiman itu adalah nikmat yang luar biasa. Tak pernah betul-betul aku rasakan sebelumnya indahnya silaturahmi ketika masih di Indonesia.

Aku tinggal di Jerman, tetapi pergaulanku lebih banyak dengan muslim-muslim Turki dan Suriah. Kontakku dengan orang Jerman hanya di tempat kerja saja, itu pun agak kaku dan kami tak pernah membicarakan urusan pribadi masing-masing. Dan oleh karena itu hubungan kami tidak berlanjut pada undangan untuk ´main ke rumah´. Itu memang karakter dan budaya mereka. Bagus-bagus aja sih, tapi jadinya terasa kurang hangat dan tidak ada ikatan kekeluargaan yang lekat. 


kalau lihat langsung, lebih indah
Berkebalikan dengan orang-orang Turki dan Suriah yang menjadi kawananku. Setiap dari mereka dengan senang hati (dan dengan penuh semangat) mengundangku untuk berkunjung ke rumah mereka. Karena kehangatan ini, aku sangat bersemangat untuk mengunjungi dan mengenal keluarga mereka.

Setiap kali tiba di kediaman mereka, aku merasa sangat bahagia, sebab mereka selalu menyambutku dengan sangat hangat dan gembira. Mungkin di bagian ini kalian menganggapku agak berlebihan dan lebay. Tetapi sebagai makhluk sosial kita memang bisa membedakan ketulusan orang-orang yang sungguh-sungguh bahagia ketika melihat kita dengan orang-orang yang hanya sekedar bersikap ramah. Menurutku mata mereka sungguh-sungguh berbinar-binar setiap kali melihatku dari balik pintu.

Herzlich Wilkommen!” ucap mereka. “Kamu selalu disambut di sini!”

Lalu mereka akan menanyakan kabarku. Ini bukan sekedar basa-basi, mereka memang selalu ingin tahu bagaimana keadaaanku, pekerjaanku, dan keluargaku di Indonesia.

Lalu kami akan minum teh atau minum sari buah. Mereka juga tentu saja menyajikan makanan kecil, seperti biskuit, cokelat, manisan buah, atau apa pun. Jika aku tinggal untuk waktu yang cukup lama, maka kami akan bersama, baik itu makan siang maupun makan malam. Mereka juga sangat memperhatikan makanan yang aku suka dan makanan yang tidak aku suka. Mereka sungguh memuliakan tamu dengan sebaik-baiknya.

Lalu sebelum pulang, mereka dengan senang hati selalu memintaku untuk datang lagi. Sebagian bahkan berkata, “datanglah kapanpun kau mau. Kami selalu menyambutmu. Datanglah setiap kali kau ada waktu.” Bahkan jika aku tak  mengunjungi mereka untuk beberapa lama, mereka akan mulai bertanya, “ada apa? Kenapa tidak datang lagi?” Ada pula seorang ibu muda yang berkata kepadaku, “kalau kamu tak punya makanan atau pun uang, datang saja kepadaku, ya Schatzi.” Lalu ia mulai berkata kepada ibunya sendiri bahwa anaknya bertambah satu, yaitu aku.


Semua tertutup salju
Cukup kontras perbedaan pergaulanku dengan saudara-saudara yang orang Jerman dan saudara-saudara yang orang muslim. Mungkin bagi orang Jerman, mengundang seseorang ke rumah hanya bisa dilakukan jika hubungan antara yang mengundang dengan yang diundang sudah sangat dekat. Tapi bagi kita orang muslim, baru kenal saja langsung jadi saudara. Terlebih, kita meyakini bahwa kedatangan tamu adalah salah satu jalan untuk mendapatkan barakah. Semakin sering didatangi tamu, maka semakin barakahlah rumahnya. Semakin baik hubungan kita dengan sesama, maka semakin baiklah kadar keimanan kita, dan semakin dekatlah rahmat Allah untuk kita.

Lalu. Kuceritakan kebahagiaanku bertemu dan bertamu ke rumah orang-orang luar biasa ini kepadamu, ibu. Syukurlah ibu sangat bahagia. Bahagia bahwa aku tak sendirian di negeri asing ini. Bahagia bahwa aku disayangi banyak orang. Bahagia bahwa Allah selalu bersamaku. 



Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa tiba-tiba aku akan memiliki banyak keluarga baru yang sehangat dan seindah keluargaku di tanah khatulistiwa, bu. Sebelum tiba di Jerman aku hanya berpikir bahwa aku harus memiliki kontak dengan saudara-saudara seagama dan semoga tidak terlalu sulit bagiku untuk menemukan mereka. Tetapi seperti biasa, Allah melimpahkan karunia-Nya melebihi ekspektasiku. Terima kasih ya Allah, Engkau selalu mempermudah jalanku di bumi-Mu, di belahan mana pun aku berada, selama aku masih bisa bersujud kepada-Mu.




2 comments for "Pengganti Ibu di Negeri Salju"