Warna-warni 2018: Jogja - Sukabumi - Jakarta - Schwäbisch Hall
Tahun
ini dipenuhi banyak sekali warna. Dimulai dari 1) pekerjaan dadakan ´menerjemah
sebulan suntuk´, 2) interpreter dadakan sebulan suntuk lagi, 3) ngajar, 4)
puasa dan lebaran terakhir di Indonesia, 5) bolak-balik Jakarta bikin visa, dan
6) perjalanan 27 jam menuju Jerman.
Jogja. Akhir tahun 2017, pertama kalinya patah hati . . . gara-gara salah paham ==''
Untungnya
tiba-tiba disibukkan dengan menerjemah dadakan yang harus selesai dalam sepekan
tapi terus malah nambah lagi nambah lagi. Jadilah ga sempet galau dan
melankolis sendirian di pojok kamar :D
Tapi
itu terjemahan dikerjain hampir tanpa tidur. Bukan sekadar semalam suntuk, tapi
sebulan suntuk. Untunglah terjemahannya dibilang bagus
>.< jadi bisa senyum lebar-lebar lagi >_<
Terima
kasih sudah mempercayakan terjemahan itu kepada saya, saya jadi bisa latihan
menerjemah asli. Terima kasih juga atas apresiasinya, meskipun masih ada
kekurangan, tetapi tetap sangat dihargai! Saya bahagia sekali.
~ Warna II ~
Jogja.
"Ada profesor dari Jerman yang mau kunjungan ke Univ sebelah, coba kamu
jadi pendampingnya deh. Mereka butuh orang buat nemenin profesor katanya,"
ucap seorang dosenku.
"Nemenin
doang? Oh gampang dong. Boleh," jawabku dengan pedenya.
Bayangan: pergi ke candi
nemenin profesor itu dan nyeritain sejarah peninggalan Hindu-Buddha dan
ngejelasin kenapa kok Jogja panas banget. Terus makan siang.
Realita: "Mbak Alvi,
mau ya jadi interpreter kami selama sebulan untuk profesor dari
Jerman" °_°
"Apa??? Jadi
interpreter profesor??? Ngeri banget lah... kemampuan bahasaku kan masih
amburadul banget...!" jeritku dalam hati.
"Coba
aja dulu," tukas dosenku dengan tenang. °_°
°_° °_°
Menerjemah itu asyik dan
bisa dikerjakan dengan sangat hati-hati dan dipikirkan lama-lama untuk mengalih
bahasakan dengan indah, outputnya benar dan enak dibaca. Tapi kalau tiba-tiba
jadi interpreter, bentar dulu... Yang ada di hadapan saya kan profesor, kalau
saya dianggap bodoh karena gak selevel sama beliau gimana? pikirku. Mana
ditakut-takutin sama temen lagi: 'hayo Vi, profesornya kan udah pensiun,
berarti udah tua. Pasti galak dan gampang marah tuh kalo kamu salah-salah!' :(
Aku jadi takut sendiri dan takut ga bisa.
Tapi ternyata setelah dicoba
. . . bisa kok :D lancar kok . . . :)
Akhirnya malah punya relasi
profesor yang baik banget dan suportif dalam pekerjaan maupun studi lanjut >_< terima kasih atas ilmu dan dukungannya Frau B, Prof. U dan Prof. P.
Terima kasih juga untuk Mbak Aini dan keluarga besar uin.
~ Warna III ~
Jogja.
Aku masih terlalu bodoh untuk diberi beban mengajar. Tapi pada kenyataannya
tantangan memang harus diambil. Lagipula kalau nggak, maka aku bakal dijitak :D
Akhirnya aku mengajar. Aku belum bisa cerita banyak kalau soal ini. Hmmm.
Pokoknya salah satu hikmahnya adalah: they love me and it feels great :) Terima
kasih sudah meminta saya untuk mengajar. Dan terima kasih juga untuk
murid-murid sekaligus adik-adikku yang imut :*
~ Warna
IV ~
Sukabumi.
Puasa dan lebaran terakhirku bersama keluarga di Indonesia. Ramadan terakhir
dengan durasi puasa normal sekitar setengah hari. Puasa selanjutnya di sini
lamanya kira-kira bakal 3/4 hari...
buka puasa - sholat maghrib
- sholat isya - tarawih - sahur . . . dalam waktu sekitar 5 jam aja. Semoga
pahala dan rahmat-Nya lebih berlimpah-limpah lagi >...<
Terima
kasih untuk momen-momen hangat terakhir bersama keluarga, ya Allah. Terima
kasih keluargaku...
Jakarta. Warna yang ini diolesi dengan keringat panas Ibu Kota ketika mengurus visa di Kedubes Jerman di Jakarta.
Panas
30°-nya Jakarta; antrian di luar pagar kedubes; pegel; pusing; haus; lapar;
pemeriksaan keamanan yang ketat dan bikin gugup . . . masih ditambah cerita
uang visanya kurang :D
Jadi ceritanya, aku bawa uang pas buat bayar administrasi pembuatan visa. Eh ternyata naik harga tiba-tiba, di web kedubes gak diumumin sama sekali. Jadinya uang akika kurang sekitar 25rb atau 35rb, aku lupa. Aku punya sih uangnya, tapi gak ada uang kecil °_° cuma ada uang lembaran 100rb dan kedubes udah kehabisan uang kembalian. Jadilah aku nuker uang tiba-tiba ke orang yang antri di belakangku. Tapi uangnya masih tetep kurang... Untung ada mahasiswi cantik dari Kediri yang ngasih aku uang. Iya, ngasih uang, karena pas kita udah keluar dari kedubes dia gak mau uangnya dibalikin dan aku pun memang gak punya uang pecahan lagi. Makasih ya dik atas bantuanmu.
Sekitar
sepekan kemudian, aku kembali lagi ke Kedubes untuk menjemput visaku yang aku
tahu dari email sudah terbit. Kembali antri dibalik pagar tinggi berkawat tanpa
naungan maupun tempat duduk. Serius itu panas dan nggak menyenangkan ~
Terima
kasih buat sepupuku yang mengantar bolak-balik pake sepeda motor, padahal
sebetulnya bisa naik kereta. Nuhun ya a. Terima kasih juga buat keluarga di
Kampung Melayu yang udah menjadi tempat singgah di ibu kota yang tidak rindang ~
~ Warna VI ~
Hari
Selasa malam tanggal 28 Agustus 2018, aku berbaring dan mencoba untuk tidur,
sebab tengah malam kami sudah harus bangun dan berangkat ke bandara. Aku harus
mempersiapkan sedikit tenaga untuk perjalanan Sukabumi - Jakarta yang
membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Perjalanan setelahnya malah akan jauh lebih
panjang lagi. Maka dari itu harus tidur!
Tapi,
gak bisa tidur. Aku tak mengantuk dan tak bisa menutup mata ketika aku merasa
menghadapi sesuatu yang besar.
Dulu
aku tak bisa tidur ketika keluargaku dalam perjalanan menuju Jogja untuk
menginap dan menghadiri wisudaku.
Aku juga
tak bisa tidur pada malam sebelum hari wisuda. Aku pikir aku tak merasa terlalu
antusias, tapi tetap saja aku tak mengantuk dan tak bisa tidur.
Bagaimana
warna perjalananku dari Jakarta - Singapur - Dubai - Frankfurt am Main
-Stuttgart? Cerita lengkap Warna Keenam ini bisa kalian baca di sini. Selamat membaca!
Post a Comment for "Warna-warni 2018: Jogja - Sukabumi - Jakarta - Schwäbisch Hall"
Drop your comments here and tell me your thoughts about my post :)