Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Culture Schock Budaya Jerman - Indonesia


Di kampus saya pernah mendapatkan mata kuliah Kontrastive Kulturkunde selama dua semester, sehingga saya sudah ´tahu banyak´ tentang orang dan budaya Jerman. Namun ketika mengalami secara langsung, rasanya sungguh berbeda!

Ini dia ceritanya.

#1 Keramah-tamahan orang Indonesia selalu #1
Saya tidak pernah menemukan orang Jerman yang bersikap rasis ataupun etnosentris kepada saya. Orang Jerman secara umum sikapnya ramah. Bahkan seringkali mereka menyapa saya duluan ketika berpapasan di jalan, tua maupun muda, padahal kami tidak saling mengenal.

Tapi . . . keramah-tamahan mereka sangat berbeda dengan keramah-tamahan orang Indonesia. 

Setelah sekitar empat bulan mengamati mereka, saya bisa menyimpulkan bahwa sebagian dari keramah-tamahan mereka itu tulus dan sebagian sisanya itu hanya formalitas. Tapi karena saya berada di lingkungan sekolah anak berkebutuhan khusus, secara umum semua orang yang saya temui memang baik dan ramah. 

Yang berbeda adalah, mereka tidak mengundang kita datang ke rumah! 

Dalam budaya kita, setelah beberapa kali bertemu dengan rekan kerja, maka kita akan mengundang rekan ini berkunjung ke rumah. Apalagi jika kita bertemu setiap hari dan bekerja di ruangan yang sama dan saling merasa nyaman satu sama lain. Di Jerman, itu tidak terjadi. 

Seorang rekan kerja pernah bertanya kepada saya, "gimana Alvi, gampang gak cari teman dan kenalan di Jerman?"

Lalu saya menjawab, "gampang kok. Teman-teman sesama Freiwillige semuanya baik dan kami berteman dekat. Saya juga berkenalan dengan orang-orang Turki dari Mesjid Turki dan mereka sering mengundang saya main ke rumah." 

Dia lalu menjawab, "oh, baguslah kalau begitu." 

Dalam hati saya berkata, ´Anda kan juga kenalan saya, kenapa Anda nggak mengundang saya ke rumah kalau Anda khawatir saya merasa sendirian?´ hehe.

Begitulah sikap ramah mereka, ramah dan sopan, tapi ´berjarak.´ 


#2 Privasi harus sangat dihargai 
Sampai sekarang saya tidak tahu status salah satu rekan kerja saya. Dia sudah sedikit berumur, tetapi entah dia sudah menikah atau bercerai atau apa. Saya tidak berani bertanya karena dia tidak pernah membahas soal itu sedikitpun. Kepada sesama rekan kerja, orang-orang Jerman yang saya kenal hanya membahas masalah pekerjaan saja, mereka tidak mengobrol tentang anak mereka yang tadi pagi tidak mau bangun atau tidak mau sarapan, atau tentang makanan kesukaan suami mereka, atau hal-hal kecil pribadi lainnya. 

Salah satu rekan kerja pernah beberapa kali bercerita tentang kedua anaknya. Dengan senang hati saya menimpali obrolannya, sebab dia sendiri yang mau membuka diri untuk membicarakan tentang anak-anaknya. Jika mereka tidak memulai duluan untuk membicarakan urusan pribadi, maka saya tak akan memulai, karena khawatir itu akan menyinggung perasaan atau semacamnya. 

Saya tidak berani bertanya, ´bagaimana kabar istri Anda?´ lalu rekan kerja saya menjawab, ´kami sudah bercerai.´ Lalu keadaan menjadi kikuk. Di sini saya tidak bisa berbasa-basi yang ´lancang,´ area pribadi hanya boleh dicapai oleh keluarga dan teman-teman terdekat mereka saja. 
  

#3Nyebrang jalan
Di Indonesia kita bisa menyebrang jalan pada saat lampu merah. Di Jerman, pada saat lampu hijau. 

Tapi yang mengejutkan bukan itu, melainkan budaya tertib menyebrang jalan mereka. Di Indonesia kita bisa menyebrang jalan di mana pun kita mau, baik melalui zebra cross maupun tidak. Di sini, hampir semua orang menyebrang jalan pada tempatnya.

Sebelum menyebrang, kita harus menekan dahulu tombol penyebrang jalan di dekat zebra cross, lalu tombol itu akan mengirimkan sinyal penyebrangan dengan mengubah lampu lalu lintas dari merah menjadi oranye, lalu merah lagi, lalu hijau. Saat berwarna hijau itulah kita boleh menyebrang jalan.

Tapi yang lebih mengejutkan bukan hanya orang menyebrang di zebra cross, melainkan juga para pengendara mobil yang sangat pengertian.

Di kota tempat saya tinggal, kendaraan yang paling umum adalah bis dan mobil pribadi. Setiap kali saya mau menyebrang, maka saya tekan tombol penyebrang dan semua kendaraan masih berseliweran dengan bebas di jalan di hadapan saya. Tetapi jika lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau, maka semua mobil akan berhenti. Mereka semua berhenti bahkan pada jarak 3 - 5 meter dari garis zebra cross. Lalu mobil-mobil itu akan mulai melaju lagi jika lampu lalu lintas sudah kembali berwarna merah. Tidak ada satu pun pengendara yang terburu-buru untuk melanjutkan perjalanan ketika penyebrang jalan sudah lewat semuanya dan lampu masih hijau. 

Bahkan di jalan kecil yang tidak ada lampu lalu lintasnya, pengendara mobil tetap berhenti sekitar 5 meter di belakang garis zebra cross untuk mempersilakan penyebrang jalan menyebrang jalan dengan tenang. Padahal saya sudah memberi sinyal silakan lewat, tapi mereka selalu mendahulukan pejalan kaki yang hendak menyebrang jalan.

Di tempat kita, orang menyebrang jalan di mana pun sah-sah saja, termasuk di Sukabumi dan di Jogja. Di Sukabumi, sebrang - menyebrang jalan tidak terlalu parah, masih cukup tertib. Tapi di Jogja… ==" para pengendara menghentikan kendaraan mereka mepet pada garis zebra cross, lalu buru-buru tancap gas sebelum lampu hijau menyala.

Kalau tidak ada lampu lalu lintas, maka kendaraan menjadi parah. Rombongan penyebrang jalan menunggu begitu lama di pinggir jalan hanya untuk menyebrang, satu-satunya solusi adalah menerobos jalan. Tapi, meskipun kita menerobos jalan ´berombongan,´ para pengendara tetap melesat kencang dengan percaya diri. Motor dan mobil melaju dengan terburu-buru dan tidak mau mengalah. Dari kejauhan, hampir semua pengendara berpikir, ´aku masih bisa melaju kencang sebelum para penyebrang jalan mencapai bagian tengah jalan.´ Terutama pengendara sepeda motor! Seringkali saya alami, pengendara sepeda motor hampir menyerempet saya yang sedang menyebrang jalan. Bagi mereka, para pengendara motor, yang terpenting adalah tidak menabrak, hampir menyerempet itu tidak masalah selama tidak kena! Sungguh berbahaya... tapi begitulah kenyataannya.

Di Jerman, tidak banyak yang memiliki sepeda motor. Sebab sepeda motor akan sangat berbahaya jika dikendarai di jalan pada hari bersalju yang licin. Selama empat bulan di sini, saya hanya pernah melihat dua tiga sepeda motor saja yang melaju di jalan. Oleh karena itu, di sini tidak ramai berseliweran sepeda motor. Damai sekali rasanya, tidak ada suara knalpot sepeda motor yang berisik dan balap-balapan. 

#bersambung . . .

Post a Comment for "Culture Schock Budaya Jerman - Indonesia"