Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ustadz-ku dari Negeri Syam


Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan memiliki seorang ustadz di negeri asing minoritas muslim. Sungguh beruntung saya menemukan sosok luar biasa ini dan bersedia menjadi guru saya secara sukarela: menjadi korektor bacaan Quran saya, menjadi tempat saya bertanya ini itu, menjadi tempat bagi saya untuk berdiskusi, dan bahkan menjadi sosok ‚ayah.‘

Pertama kalinya saya bertemu dengan beliau, Ustadz N, adalah pada hari pertama saya berkunjung ke masjid. Orang pertama yang saya lihat dan melihat saya adalah imam masjid atau yang dalam Bahasa Turki disebut Hoca (imam atau ustadz).  Dan orang kedua yang saya lihat adalah Ustadz N dari negeri Syam itu, ketika beliau sedang menyimak bacaan Quran salah satu sahabat sekaligus muridnya.

Lalu bagaimanakah sosok Ustadz N dari negeri Syam ini?

Saya memanggil beliau ‚Ya Ustadz,‘ murid beliau yang lain memanggil beliau ‚syeikh,‘ dan sisanya memanggil beliau dengan nama depan ataupun ‚abu + nama anak pertamanya.‘

Awalnya, saya mengira sikap Ustadz N pasti kaku dan tidak suka bercanda, karena beliau adalah seorang mualim dari tanah Arab. Dan saya pikir Ustadz N mungkin tidak akan mau berlama-lama berbicara dengan saya - muridnya yang perempuan, apalagi berdiskusi. Tapi… ternyata tidak begitu, kocak malah 😂

Suatu kali ketika saya mengunjungi keluarga beliau, kami duduk mengelilingi meja dan makan bersama. Saya berkata bahwa saya tidak suka seledri, lalu di tengah-tengah makan beliau menaburkan seledri di atas piring saya. Saya kaget melihat seledri akan mendarat di piring saya, saya berteriak dan beliau tertawa. Untunglah beliau hanya bercanda, seledri itu tetap dalam genggaman tangan beliau, tidak ditaburkan ke piring saya...

Cerita lainnya adalah dalam pengajian rutin kami. Setiap kali kami mengaji bersama, ustadz kami selalu menyajikan teh hangat dan makanan ringan juga buah-buahan untuk semua orang. Akhir-akhir ini saya berkesempatan untuk menyajikan teh tersebut, tapi dulu, Ustadz N tidak memperbolehkan saya untuk sibuk mempersiapkan apa pun. Saya hanya boleh duduk dan menunggu disajikan ini itu. Setiap kali saya ingin membantu, Ustadz N selalu bilang, „tidak perlu repot-repot. Biar saya saja yang memasak air untuk minum teh. Gampang kok. Kamu duduk saja.“
Selalu begitu.
Padahal saya ingin membantu.

Kemudian Ustadz N akan bertanya, „mau minum teh hitam atau teh hijau?“
Biasanya saya menjawab, „apa saja.“ Tapi Ustadz N selalu meminta untuk memilih salah satunya, agar saya menikmati jenis teh yang saya mau. Sebetulnya bagi saya teh hitam atau teh hijau sama saja, makanya saya bilang ‚apa saja.‘

Suatu kali beliau menanyakan teh yang saya mau, lalu saya menjawab ‚apa saja boleh,‘ tetapi beliau meminta saya untuk memilih dari keduanya. Maka saya jawab secara acak dari dua pilihan tersebut, saya berkata ‚teh hitam.‘ Sementara itu, beliau memilih teh hijau seperti biasanya.

Beberapa saat kemudian, beliau berkata, „oh Alvi, maaf, saya lupa. Saya malah buat teh hijau dua-duanya!“ 😂

„tidak apa-apa, Ustadz, teh hijau saja kalau begitu,“ ucap saya ingin tertawa.

„Maafkan saya ya.“

„Tidak apa-apa, Ustadz, bukan masalah.“ Dalam hati saya berkata, ‚ngapain tadi pak ustadz tanya mau teh hijau atau teh hitam, kalau ustadz bikin teh hijau dua-duanya 😂 lagipula saya sudah bilang teh apa saja.‘

Setelah teh sudah terhidang, pengajian segera dimulai. Kadang Ustadz N meminta agar kami segera mulai membaca Quran ketika beliau masih menyiapkan teh di dapur. Lalu beliau menyimak dan mengoreksi bacaan kami dengan santainya sambil mengaduk-aduk teh di dapur: tanpa melihat mushaf dan tanpa menentukan surat yang ingin kami baca.

Biasanya kami memilih surat dari Alquran secara acak. Lalu, surat apa pun yang kami sebutkan, selalu direspon oleh Ustadz N dengan ekspresi terkesima, seolah-olah baru pertama kali mendengar nama surat itu dan langsung tahu kandungan suratnya. Beliau selalu berkata, „subhanallah, itu surat yang sangat indah!“ atau, „masya Allah, al Furqan! Itu indah sekali. Itu tentang ini dan itu…“ Ustadz kami selalu tahuuu saja isi surat yang kami baca.

Selain itu, beliau tidak saja hanya mengoreksi bacaan kami, tetapi juga menjelaskan kandungan surat yang kami baca. Biasanya beliau akan memberikan sedikit pengantar mengenai isi surat sebelum kami mulai mengaji. Lalu ketika beliau menemukan ayat yang terlalu menarik untuk dilewatkan, beliau akan menjelaskan kandungan ayat itu dengan memotong sejenak bacaan kami. Kami juga sering menanyakan berbagai hal mengenai ini dan itu, yang berhubungan dengan bacaan kami maupun tidak.

Bersambung…

2 comments for "Ustadz-ku dari Negeri Syam"